Ketika itu, saat saya belum mengerti filosofi Ki Hajar Dewantara tentang bagaimana menjadi seorang guru yang baik, mengerti kebutuhan murid, membawa mereka pada kodratnya. Saat ini, saya merasa bukanlah guru yang baik, bukan guru yang bermakna bagi siswa, yang hanya menuntut tanpa menuntun, menghardik tanpa mendidik, menjustifikasi tanpa memberikan motivasi. Saya merasa, “akulah segalanya”, sumber dari segala hal, ilmu, perilaku dan sejenisnya.

 

Pada awalnya saya beranggapan bahwa anak itu seperti yang dijelaskan pada teori tabularasa yang memandang bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang kosong bagaikan kertas putih, teori ini menolak adanya ide bawaan pada bayi, dengan alasan karena tidak dapat dibuktikan secara inderawi. Sedangkan konsep fitrah memandang bahwa manusia dilahirkan memang dalam keadaan bersih dan suci, tetapi disertai dengan potensi.

Filosofi Ki Hajar Dewantara membuat hati dan pikiran saya terbuka, bahwa sejatinya setiap anak memiliki keunikan tersendiri, meskipun anak yang dilahirkan kembar identik. Mereka membawa bakat dan potensinya masing-masing. Anak bukanlah sebuah kertas kosong yang dengan sesuka hati bisa kita lukis dan kita bentuk semau kita. Dalam konteks pembelajaran, selayaknya sebagai seorang guru kita mendorong, menggerakkan dan memfasilitasi murid menemukan bakatnya sesuai kodrat alam dan zaman.

Anak-anak tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu” Ki Hajar Dewantara.

Kalimat tersebutlah yang semestinya harus dipegang oleh pendidik sebagai konsep dalam proses pembelajaran, dimana anak diberikan kebebasan untuk menemukan bakat dan kodratnya. Sebagai “pamong”, pendidik diharapkan bisa membersamai murid, mendorong secara holistik, memberikan pelayanan pembelajaran dengan menyesuaikan kultur budaya setempat. Kebermanfaatan pembelajaran tentunya akan lebih baik, ketika menyesuaikan dengan budaya setempat. Murid bisa mengeksplorasi pembelajaran sesuai dengan budaya yang ada di daerah itu, karena tidaklah daerah dengan mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani tidak akan sama dengan budaya nelayan. Memang tidak salah ketika murid yang berada di kultur daerah pertanian mendapatkan materi pembelajaran tentang perikanan. Akan tetapi kebermanfaatannya lebih maksimal ketika disesuaikan dengan kultur budaya setempat. Murid bisa langsung mengaplikasikan hasil pembelajaran sesuai dengan daerahnya.

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” (H.R. Ali Bin Abi Thalib).

Senada dengan apa yang dikatakan sahabat Ali bin Abi Thalib, Ki Hajar Dewantarapun menyampaikan kepada kita, bahwa sebagai pendidik alangkah bijaknya ketika mengajarkan murid sesuai dengan zaman mereka. Artinya sebagai pendidik janganlah kita mengajarkan dengan cara dulu kita mendapatkan pendidikan. Zaman telah berubah, tuntutan ketrampilan yang harus dimiliki murid tidaklah sama seperti kita dahulu belajar. Pendidik sebaiknya menemukan dan menuntun ketrampilan murid sebagai bekal untuk mereka hidup dan berkarya.

Adanya filosofi Ki Hajar Dewantara ini, mengingatkan pada saya bahwa sejatinya pendidik juga merupakan pembelajar sepanjang hayat, dimana pendidik harus terus belajar. Konsep pembelajaran dengan menghamba pada murid atau student centred, merupakan konsep yang sangat sesuai ketika diterapkan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan mengidentifikasi setiap bakat anak merupakan cara yang tepat dan sesuai dengan konsep ini. Pada kegiatan pembelajaran yang akan saya lakukan, akan saya awali dengan menidentifikasi kemampuan awal murid. Proses identifikasi ini tentunya sangat bermanfaat untuk proses pembelajaran selanjutnya, dimana saya bisa menyesuaikan karakter, bakat, gaya belajar dan kemampuan murid, sehingga bisa menuntun menemukan kodratnya.

 

Putra Rizki Noto Negoro
Salam Guru Penggerak
Tergerak, bergerak, menggerakkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *